A. Sekilas Sejarah Masyarakat Kota Ampenan
Pada abad 19 sekitar tahun 1896 bahwa Kota Ampenan telah berkembang sebagai kota pelabuhan yang menghubungkan ke berbagai jalur pelabuhan sekitarnya. Sejalan dengan hal tersebut mengakibatkan munculnya arus urbanisasi dan transmigrasi sehingga menambah besar jumlah penduduk Kota Ampenan. Para pendatang mendiami berbagai tempat disekitar pesisir pantai pelabuhan Ampenan, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan-perkampungan di Kota Ampenan.
Terbetuknya perkampung tersebut merupakan sebuah proses Integrasi penduduk dari bergai Etnis dan Culture yang mendiami sebuah wilayah atau tempat sehingga akibatnya terbentuklah masyarakat heterogen dengan memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengadu nasib di tanah rantauan orang.
Pada abad 20 masyarakat kota Ampenan berkembang semakin pesat walaupun masa pendudukan Belanda dan Jepang sempat menguasai pulau Lombok maupun Nusa Tenggara atau Sunda Kecil. Bangunan-bangunan sekitar pelabuhan Ampenan telah tumbuh semakin pesat, pusat pertokoan perdagangan, kantor Bea Cukai di Pabean, Bank Dagang Belanda (Nederlands Indische Handelsbank), gudang bahan bakar BBM, Gedung Pabrik minyak kelapa, dan pabrik beras, sekarang hanya terlihat bekas-bekas reruntuhannya saja, selain itu juga terdapat bangunan Sekolah Dasar di kampung Kapitan, kantor Pos dan Giro, kantor Polisi di kampung Repukbebek, Sekolah Cina (Chung Hua Scool) di kampung Melayu.
Pada jaman pendudukan Jepang kegiatan perdagangan di kota Ampenan sempat terhenti karena waktu itu Jepang merasa terdesak dari ancaman sekutu, maka Jepang memusatkan perhatian pada latihan Militer terhadap pemuda-pemuda berasal dari Lombok Tengah, Lombok Timur dan Lombok Barat untuk dipekerjakan sebagai pekerja pembuatan jalan-jalan untuk mempercepat proses hubungan Jepang dari daerah yang satu ke daerah yang lain serta pembuatan benteng-benteng pertahanan di Bangko-Bangko (sekarang termasuk wilayah Sekotong). (buku Studi pertumbuhan dan pemudaran Kota Pelabuhan Ampenan, Depdikbud 1995:35).
Setelah masa pendudukan Jepang berakhir, beransur-ansur masyarakat kota Ampenan yang semula fakum untuk aktivitas perdagangan, mulai melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hubungan antar daerah sekitarnya kembali aktif, termasuk normalisasi hubungan dengan Bali, yang pada saat itu Bali ditunjuk sebagai kota propinsi Sunda Kecil dengan gubernurnya Mr. I Gusti ketut Pudje.
Pada tahun 1950 perkembangan kota Ampenan telah nampak dengan adanya pembangunan pertokoan-pertokoan, jalan-jalan, serta gang-gang yang telah tertata rapi menjadi sanitasi yang indah serta pembangunan pabrik-pabrik pengolahan hasil bumi seperti; pabrik Kecap, Beras, Minyak Goreng dan lain-lain yang menjadi kebutuhan pasar oleh konsumen di sekitar kampung Telaga Mas.
Sebelum tahun 1976, perkembangan pelabuhan Ampenan memberikan keuntungan yang besar bagi pendapatan daerah kota Ampenan (investasi) dengan pemasukan dari sumber Pajak setiap kapal, atau perahu layar yang berlabuh, selain itu pemasukan pendapatan juga didapat dari penarikan pajak bagi setiap pedagang, baik pemiliki atau pengguna bangunan toko maupun pedagang kecil.
Pada tahun 1976 dan 1977 kegiatan yang ada di pelabuhan Ampenan mulai berkurang karena kegiatan lebih difokuskan pada pelabuhan Lembar karena ditunjang oleh perkembangan jalur transportasi semakin ramai yang disertai dengan terjalinnya hubungan transportasi antara Bali dan Lombok semakin besar. Untuk lebih efisien dan efektifnya pengangkutan barang-barang dari Bali melalui kapal atau veri cukup dengan mobil-mobil besar atau kecil untuk di antar langsung ke berbagai penjuru seperti di Ampenan – Mataram, Lombok Tengah, Lombok Timur bahkan sampai di pulau Sumbawa yaitu Sumbawa, Dompu dan Bima.
Perubahan transportasi laut ini membawa dampak negatif artinya terjadi pasang surutnya pelabuhan Ampenan fungsinya, dan perkembangan. Kotanya pun masih bertahan untuk maju, akan tetapi sumber ivestasi dari Pelabuhan Ampenan semakin berkurang.
Terjadinya perubahan tersebut maka pendapatan masyarakat pendatang seperti pedagang kecil, buruh atau tenaga yng dipekerjakan menjadi berkurang tingkat perekonomian meraka banyak yang beralih dengan mencari profesi lain, dan sangat memprihatin adalah pengangguran semakin banyak. Tapi hal itu bukan menjadi persoalan bagi penganggur tadi akan tetapi karena lebih banyak berasal dari perantau mereka terus mencari jawaban untuk bisa mempertahankan hidup tanah rantauan orang, ada yang menjadi pembantu rumah tangga atau bekerja di rumah orang Cina, Arab atau pada penduduk yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas.
Kesiapan mental mereka untuk mempertahankan hidup adalah kebanggaan sikap budaya dari daerahnya yang tidak pernah mereka lupakan. Semangat budaya inilah yang akan menjadi berkembang untuk meningkatkan hubungan dengan berbagai suku atau etnis dengan tujuan saling menguntungkan dengan tidak menyakiti antara satu dengan yang lain.
Sikap dan perilaku itu selalu dipertahankan hingga sekarang. Walaupun agama dan bahasa yang berbeda tetapi tetap bersatu dengan semangan membangun masyarakat kota Ampenan Cerah Ceria (ACC) yang dijadikan sebagai Motto kota Ampenan.
B. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Kota Ampenan
Kota Ampenan mempunyai tingkat heterogenitas etnis dan kultur yang cukup tinggi, sehingga masyarakatnya dituntut untuk menjaga dan meningkatkan pemahaman serta kesadaran mereka untuk saling berhubungan satu sama lain tetap dipupuh dan dikembangkan.
Heterogenitas penduduk Ampenan tercermin dari pemukiman penduduknya yang diberi nama sesuai dengan nama daerah asalnya, seperti kampung Bajar, kampung Bugis, kampung Melayu, Kampung Arab, kampung Flores, kampung Jawa. Untuk penduduk etnis Cina menempati langsung ditempat penjualannya/toko yang biasanya terletak di disekitar jalan raya.
Selain nama pemukiman yang mencerminkan daerah asal, heterogenitas penduduk di Ampenan juga dapat di lihat dari model bangunan serta penataan tempat tinggal. Adapun pemukiman penduduk yang masih mencirikan nama asli daerah asal penduduk adalah sebagai berikut ;
- Pemukiman Etnis Arab. Semula diberi nama Karangkerem, diberi nama demikian karena setiap kali musim hujan, perkampungan ini selalu terendam banjir. Hal ini dikarenakan letak perkampungan yang letaknya lebih rendah dari perkampungan sekitarnya. Dalam perkembangannya nama ini berubah menjadi Telagamas yang artinya mencerminkan terwujudnya ketika musim hujan tadi terendam menyerupai Telaga dan identik dengan dengan etnis pendatang baru yaitu etnis Arab yang telah terjadi perkawinan campuran dengan etnis Sasak atau etnis lainnya menjadi pekerja tukang emas. Bangunan pemukiman penduduk umumnya terbuat dari batu bata dan berpagar tinggi sehingga sulit dilihat dari luar.
- Pemukiman Etnis Eropa Etnis Eropa termasuk orang Belanda yang masih secara turun temurun tinggal di Ampenan yang pernah bekerja sebagai pegawai Handels Bank dan perusahan pelayaran KPM (milik Belanda) mereka tinggal dengan jenis pemukiman dalam satu kompleks yang juga ditembok keliling yang cukup tinggi dengan gaya arsitek eropa yang dilengkapi dengan lapangan tenis. Nama perkampungannya adalah Kampung Kapitan, artinya pada masa pendudukan Belanda di Lombok mereka menjadai pegawai ”Kapiten” atau menurut bahasa penduduk asli Sasak disebut ”Keliang”. Di Kampungan Kapitan terdapat nama Tangsi tentara Belanda yang dilengkapi dengan lapangan latihan Militer (latihan tembak). Dalam perkembangannya perkampungan Tangsi itu menjadi pemukiman tersendiri yang lebih banyak dihuni oleh etnis Indonesia bagian timur, yaitu etnis Maluku dan Timur.
- Pemukiman Etnis Bali, biasanay diberi nama sesuai dengan kampung tinggal di Bali, seperti Karangujung. Warganya sebagian besar berasal dari kasta Waisa dengan pola kehidupan yang sederhana tinggal dalam satu kompleks. Pemukiman etnis Bali ini mempunyai ciri tersendiri, dimana di setiap rumah dibangun sanggah sebagai tempat sembahyang bagi mereka. Mata pencaharian mereka adalah petani dan pedagang.
- Pemukiman Etnis Jawa. Arsitektur bangunan mengikuti pola arsitektur yang ada dan penataan pemukiman disesuaikan dengan status sosial ekonomi mereka. Etnis Jawa ini dalam perkembangannya mendirikan kampung Jawa.
- Pemukiman Etnis Melayu. pemukiman etnis Melayu dengan bentuk dan jenis bangunan hampir sama dengan pemukiman etnis pulau Sumbawa (Bima dan Sumbawa) yaitu berasal dari kayu dengan jenis rumah tiang kayu (panggung) dan lantai papan dengan penataan rumah dan jaraknya cukup sederhana. Kadang jarak dari satu rumah ke rumah yang lain sekitar 25 m sampai 35 m. Sedangkan sekarang karena pertambahan penduduk semakin pesat sehingga penataan semakin padat dan kadang tidak kelihatan batas pagar pertambahan penduduk semakin pesat sehingga penataan semakin padat dan kadang tidak kelihatan batas pagar.
Kemampuan masyarakat etnis yang tinggal di kota Ampenan baik di masa sebelum pengaruh Hindu/Budha, Islam maupun masa Kolonialisme Belanda dan Jepang hingga sekarang telah membentuk sistem sosial budaya secara turun temurun telah diwariskan oleh anak cucunya untuk menjadi masyarakat pendatang yang tau adat, tradisi sistem sosial kemasyarakatan. Norma atau nilai-nilai budaya yang tercermin hingga sekarang, sehingga walaupun Kota Ampenan tidak jaya seperti dulu lagi akan tetapi tetap menjadi kenangan yang bersejarah bagi mereka. Cerminan kearifan nilai sosial budaya menjadi contoh sehingga mampu menjadi bagian dari etnis masyarakat asli yang mampu meredakan setiap konflik-konflik yang akan dapat mengganggu stabilitas kehidupan kemasyarakatan di Kota Mataram sampai sekarang.
Bagi masyarakat etnis Ampenan kehidupan sosial keagamaan saling tetap menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing walaupun masyarakat Ampenan penduduknya mayoritas Islam. Nuansa hari-hari besar agama masing-masing etnis, seperti hari besar Islam, Hindu, Kristen, Budha turut menjaga asas dan keragaman bukan menjadi perpecahan akan memperkaya status kehidupan kemasyarakatan mereka. Ketika terjadi konflik sara atau jenisnya jalan yang ditempuh oleh tokoh adat adalah musyawarah dan mufakat ditempat yang telah disepakati oleh mereka. Inisiatif menempuh jalan damai untuk menyelesaikan permasalahan biasanya muncul dari etnis lain yang tidak terlibat dalam sengketa. Hal ini merupakan bentuk keperdulian dan perhatian dari semua etnis yang tinggal di kota Ampenan untuk menciptakan serta menjaga kondisi sosial yang aman dan damai.
C. Kehidupan Sosial Politik dan Pemerintahan Masyarakat Kota Ampenan.
Gambaran tetang kehidupan sosial politik dan pemerintahan masyarakat Ampenan dari pra kolonial sampai masuk Imperalisme Belanda, Jepang dan masa kemerdekaan memiliki masa kejayaan dan pengalaman yang bersejarah tersendiri. Pengalaman itulah yang sekarang semakin memperkaya wawasan kehidupan kemasyarakatan bagi mereka,bahwa mereka hidup ditanah rantauan dengan mengadu nasib untuk cita-cita dan masa depan bagi harapan keluarga yang telah ditinggalkan oleh mereka sejak lampau.
1. Pengalaman Masa sebelum dan sesudah Kolonial Belanda
Sebagai pengalaman Sejarah etnis-etnis yang bermukim di kota Ampenan, Misalnya masa penjajahan Belanda ibu kota Ampenan dijadikan sebagai kota Afdeeling Lombok dengan berdasarkan staatblad No. 181/1895 tanggal 31 Agustus 1895 bahwa Pulau Lombok ditempatkan langsung dengan pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari ke Residenan Bali dan Lombok adan dibagi menjadi wilayah/kompleks kecil seperti kompleks Pelabuhan, Perkantoran, komplek perdagangan, kompleks pemukiman dengan berdasarkan etnis masing-masing seperti yang pernah diuraikan di atas.
Pada tahun 1895 Belanda berkuasa mulai mempraktekan ajaran Colijn dengan semangat untuk menananmkan pada masyarakat Ampenan semangat sukuisme yang paling ditonjolkan dan perbedaan agama (buku Integrasi Nasional dalam Pendekatan Budaya di Nusa Tenggara Barat, Depdikbud, 1996:52). Artinya menanamkan benih perpecahan dengan mempertajam politi adu domba sehingga akibatnya timbul rasa kebencian dari etnis-etnis. Timbul rasa kebencian dari etnis itu akan terjadi perpecahan (konflik) sehingga lebih muda Belanda memerintah mereka.
Dalam susunan pemerintahan diatur oleh Belanda dengan tidak berdasarkan wilayah atau komplek tinggal mereka akan tetapi berdasarkan etnis dengan berdasarkan kehendak Belanda atau pendudukung.
Adanya pmindahan ibu kota pemerintahan dari Kota Ampenan ke Kota Mataram oleh Belanda, berarti kantor pemerintahan Asisten Keresidenan dan perumahan ikut juga pemindahan, sedangkan Kota Ampenan dijadikan sebagai kota pelabuhan sekaligus sebagai pusat kota perdagangan.
Pada masa pemerintahan Belanda jabatan Asisten Residen Kontrolir, InspekturPolisi, dan kepala Distrik dipegang jabatan oleh orang Belanda sedangkan jabatan Kepala Desa dipercayakan bangsa Bumi Putra (orang Lombok) yang merupakan jabatan paling rendah. Sedangkan kepal Desa dibantu oleh ”Kliang” artinya Kepal Kampung (Kadus) sekarang dan ”juruhwarah” sebagai pembantu Kliang yang kan menyampaikan perintah langsung kepada rakyat apabila ada sesuatu yng berkaitan dengan Desa (rakyat) misalnya kegiatan gotongroyong infomasi penting dalam urusan pemerintahan. Selain itu dalam pengaturan dalam pemerintah desa terdapat juga untuk menjaga keamanan yaitu ”Langlang” yang akan bertanggungjawab terhadap keaman Desa/kampung.
Kepala Desa, Kliang, Juruwarah, dan Langlang masa pemeritah Desa tidak mendapat gaji, mereka bekerja dengan suka rela. Akan tetapi mereka juga akan mendapat tanah pecatu (tanah bengkok) dan terbebas dari kerja Paksa/rodi, dan tidak dibebani dengan pajak.
Pada masa Belanda juga para pegawai dengan memegang jabatan lebih banyak dari luar etnis Lombok, artinya etnis Jawa. Ada juga yang menjadi Guru, Perawat, dan menjadi pegawai rumah sakit. Sedangkan suku lain untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan sangan kurang.
Untuk mendukung pemerintahan Belanda itu juga dalam pemindahan ibu Kota dari kota Ampenan ke kota Mataram sampai sekarang, pada tahun 1928 Belanda membangun Pusat tenaga Listrik yang diberi nama ”Ebalom” yang artinya ”Electrich Bali en Lombok” yaitu tenaga Listrik untuk wilayah Bali-Lombok untuk menyediakan kebutuhan Belanda juga untuk pegawai-pegawai dan sebagaian penduduk yang terdiri dari wilayah Kota Ampenan, Mataram dan Cakranegara. Sedangkan pusat Ebalom yaitu PLN sekarang karena telah terjadi Nasionalisasi semua aset Belanda, sehingga menjadi Perusahaan Milik Negara. (Integrasi Indonesia: Pendekatan Budaya NTB, Depdikbud, 1996:55).
2. Pengalaman masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 8 Desmber 1941 Jepang kembali bangkit untuk menunjukkan kekuatan militer serta semangat Bushidonya membom Pearharbour di Hawai samudra pasifik dengan tujuan menghancurkan pangkalan militer Amerika agar tidak menjadi batu sanjung ketika Jepang melakukan ekspansi ke negara-negara Asia Pasifik. Selain itu juga Jepang menguasai Pangkalan Militer Amerika ke 2 di Filipina. Jendral Mech Acthur berhasil dihancurkan oleh Jepang. Dalam waktu lebih kurang 2 bulan Asia Pasifik jatuh ketangan Jepang, disamping itu keberhasilan Jepang menarik simpatik baga Asia Pasifik dengan slogan propagandanya yaitu Gerakan Tiga A dan Jepang sebagai Saudara Tua. Akibatnya
Negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia dibawah pendudukan Jepang. (Indonesia Abad ke 20, Moedjanto G. Drs. MA, 1988:69). Berbagai wilayah indonesia termasuk Lombok menjadi jajahan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Mei 1942 Angkatan Laut Jepang mendarat melalui pelabuhan Ampenan dengan menggantikan kedudukan Belanda. Akibatnya dalam proposi pemerintahan telah berubah termasuk pembagian wilayah di pulau Lombok terbagi menjadi tiga wilayah yaitu : pemerintahan Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Sedangkan wilayah ini pada masa Belanda disebut dengan pemerintaha Kontrolir, sedangkan setelah dikuasai oleh pemeritahan Jepang menjadi Bun ken kanrikang. Kepala Distrik diganti menjadi Gunco
Dan Kepala Desa menjadi Sunco. Sedangkan jawatan-jawatan lain yang penting adalah Kepolisian, urusan bahan makanan, dan urusan pemotongan hewan. Sejak masa pemerintahan Jepang kota Ampenan sepi kembali karena sistem pemerintahan lebih berorientasi ke Militerisme (seperti di bahas pada bab III). Pusat perdagangan kota Ampenan tidak lagi menjadi ramai, toko-toko kosong, gang-gang yang dekat dengan kepentingan Jepang diperlebar secara paksa.
Perhatian oleh Jepang kepada negara jajahan termasuk pembangunan kota Ampenan berbeda, Jepang membentuk kekuatan baik bersifat Diplomasi dan Militer seperti organisasi-organisasi Gerakan 3A, Fujinkai, Seinendan, sedangkan yang paling berperanan menentukan kakuatan pertahanan Jepang adalah Peta, Heiho, Keibodan. Organisasi ini diperalat oleh Jepang untuk menjadi alat perang. Pemuda-pemuda wajib Militer bagi yang berumur minimal 16 tahun, dengan tujuan untuk membantu jepang dalam perang Asia Timur raya melawan Sekutu. (Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 daerah NTB, Depdikbud, 1980 23-24).
Suasana seputaran Kota Ampenan, Mataram, dan Cakranegara semakin genting dan sepi Jepang dengan kekuatan dan kekuasaan Militerisme semakin lama menimbulkan kebencian masyarakat. Larangan untuk berkumpul membicarakan politik, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, berbahasa indonesia disekolah-sekolah, kegiatan beribadah sebagai masyarakat Sasak dan etnis pendatang bermayoritas Islam dibatasi dan diintimidasi oleh tentara Jepang. Kegiatan seni Budaya larangan, semakin lama masyarakat terus tertanam rasa kebencian ingin melakukan pemberontakan.
Pemberontakan ini awalnya melalui gerakan penghentian pengiriman bahan makanan kepada setiap kantong-kantong pemerintahan Jepang. Gerakan itu dipelopori di Lombok oleh Mamiq Padelah, Lalu Durahman, Lalu Srinata dan lainnya agar masyarakat sadar bahwa pemerintahan Militer Jepang lebih mengutamakanan urusan dan kepentingan sendiri dari pada untuk kepentingan bangsa koloninya. (Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 daerah NTB, Depdikbud, 1980 23).
Kekuatan gelombang serang sekutu semakin dahsat dan Militer Jepang semakin kehilangan kepercayaan, maka Jepang menjanjikan pada bangsa Indonesia apabila membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya melawan Sekutu maka Indonesia akan diberikan Kemerdekaan.
Taktik, strategi dan kelicikan Jepang sudah diketahui oleh penduduk Indonesia termasuk di Lombok, maka ucapan Jepang tidak diperhatikan, semua yang berurusan dengan kepentingan dan kebutuhan Jepang diabaikan oleh masyarakat Lombok pada umumnya.
Waktu yang telah dinantikan telah tiba saatnya yaitu tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Naga Saki dan Hirosima di Bom oleh Sekutu dan akibatnya Jepang dengan Kaisar Hirohito menyatakan Menyerah tanpa sarat. Akhirnya Sekutu mengambil alih kekuasaan untuk mengamankan situasi bekas penjajahan Jepang dan mengembalikan tentara Jepang ke negaranya.
Akhir tahun 1945 Jepang meninggalkan Kota Ampenan, sejak itu kota Ampenan kembali berfungsi dan peranan pelabuhan mulai berangsur-angsur ramai kembali, kegiatan perdagangan mulai aktif. Para pedagang melakukan fungsinya, para buruh, tenaga kerja, kapal-kapal dagang kembali beraktivitas kembali yang sekian lamanya mereka telah tercekam oleh rasa ketakutan dan kekerasaan dari pemerintahan Jepang.
Kegiatan transportasi melalui darat kedaerah lombok Tengah, Lombok Timur, dan kepulau Sumbawa aktif kembali. Pola perbaikan pemerintahan mulai tertata kembali karena gelombang kekuatan Nasionalisme para pemuda dan tokoh, yaitu Bung Karno dan Hatta bersama dengan pemuda mencanangkan Proklamasi denga tujuan agar terbebas dar belenggu penjajah yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Deklarasi Of Independen tidak dapat dihindari lagi peluang kekosongan kekuasaan dan semangat kebangsaan dimanfaatkan oleh mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Kemerdekaan dicapai, maka status pemerintahan yang dulu warisan belanda yaitu kegiatan pemerinahan dikembalikan lagi ke Mataram, sedangkan kota Ampenan tetap menjadi kota perdagangan. Akan tetapi pelabuhan Ampenan juga mulai berpindah ke pelabuhan Lembar karena semakin meningkatnya arus transportasi darat lebih cepat. Akibatnya semakin lama kota pelabuhan Ampenan semakin sepi dan kegiatan perdagangan pun menurun, karena di Cakranegara telah dibuka juga pertokoan-pertokoan, akibatnya konsumen sesuai dengan perkembangan tata kota lebih banyak membeli kebutuhannya di Cakranegara.
Wilayah dan perkampungan yang dihuni oleh berbagai etnis dibagi menjadi tiga kelurahan yaitu kelurahan Ampenan Utara, Kelurahan Ampenan Tengah, dan Kelurahan Ampenan Selatan, yang sampai sekarang menjadi pertumbuhan dan perkembangan pemekaran wilayah disetiap sudut kota Mataram.