Pemenang Adalah...

Pemenang sejati adalah berani gagal, berarti berani belajar. Berani untuk mendapatkan kemenangan, juga berani hadapi kegagalan sebagai pembelajaran. Hanya mereka yang berani gagal yang dapat meraih keberhasilan.

Seputar Cinta

Jika rasa cinta terbalas, maka bersyukurlah karena Tuhan telah memberikan hidup lebih berharga dengan belas Kasih-Nya. Jika sebaliknya, maka bersabarlah karena Tuhan sudah mempersiapkan yg lebih baik

Banyak Sahabat

Sahabat itu akan menyenangkanmu saat kamu galau, menghiburmu saat kamu sedih dan membelamu saat kamu terluka.

Seputar Persahabatan

Jangan mengabaikan dia yg peduli padamu, suatu hari kamu akan kehilangan dia hanya karena kamu terlalu sibuk dgn dia yg tak peduli.

Cinta Tak Butuh Alasan

Dan cinta itu memang tidak butuh alasan. Seperti semua orang tua yang mencintai anak-anaknya tanpa alasan.

11/04/12

Paradigma Sosiologi

Secara sederhana paradigma dapat kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati, istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalakan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya yang berjudul The Structure Of Scientific Revolution (Chicago: University Of Chicago Press, 1970). Menurutnya paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam bukunya Kuhn mnejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, bisa jadi suatu teori ditumbangkan oleh pandangan teori baru yang mengikutinya.
Dalam bidang sosioligi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology A Multiple Paradigm Science (Boston Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja karena satu dan lain hal , dalam penjelasan disini penulis tidak akan memakai buku aslinya versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku ini George Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi, meskipun dalam perkembangan teori mutakhir, pembagian tiga paradigma ini secara tegas menjadi usang dan kurang relevan. Ketiga paradigma yang dominan dalam sosiologi menurut Ritzer adalah  Paradigma Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial yang dibedakan berdasarkan empat komponen dari paradigma yaitu ekemplar, gambaran subject matter, metode dan teori-teorinya.
Paradigma yang pertama adalah Fakta Soial, paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog asal Perancis. Durkehim mempertegas bahwa pendekatan sosiologisnya berseberangan dengan Herbert Spencer yang menekankan pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern dan baginya kunci untuk memahami gejala sosial dan alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan antara Comte da Spencer dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah-wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, ”Fakta Sosial’ menjadi pusat penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai baranag sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi objek penelitian dan penyelidikan dalam dalam studi sosiologi. Titik berangkat dari sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkanpun bersifat deskriptif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social Structure) dan pranata sosial (lembaga institusi).
Paradigma yang kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action), eksemplar yang digunakan dalam paradigma ini adalah dari Max Weber (1864-1920). Weber memandang bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari individu-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Bagi Weber, Sosiologi adalah ”a science which attempts the interppretative understanding of social action in order therby to arrive at a causal explanation of its course and effects”.
Tekanan dalam definisi Weber ini berbeda dari pendirian Weber bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu, dan bahwa fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya. Durkheim melihat kenyataan sosial sebagai suatu yang mengatasi individu, berada pada tingkat yang bebas; Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Bila Durkheim memiliki posisi yang umumnya berhubungan dengan realisme sosial maka posisi Weber berhubungan dengan posisi nominalis. Kaum nominalis berpendirian bahwa hanya individu-individulah yang riil secara objektif, dan bahwa masyarakat hanyalah suatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu. Perbedaan penting lainnya antara Durkheim dan Weber adalah pandangannya mengenai proses-proses subjektif yang sangat penting dalam definisi Weber.
Posisi Weber ini menjadi jelas dalam pernyataannya bahwa ”interpretative sociology considers the individual (Einzelindividuum) and his action as the basic unit, as its atom’...in this approach, the individual is also the upper limit and the sole carrier of meaningful conduct... in general,for sociology, such concept as `state`, association, feudalism, and the like, designate certain categories of human interaction. Hence it is the task of sociology to reduce these concept to understandable action, that is, without exception, to the action of participating individual men. Dari sini terlihat bahwa tujuan sosiologi interpretative Weber adalah untuk masuk ke arti-arti subjektif yang berhubungan dengan berbagai “kategori interaksi manusia”.
Dalam kerangka Weberian inilah paradigma definisi sosial menempatkan definisi aktor terhadap situasi social dan efeknya terhadap tindakan dan interaksi sebagai subject matter sosiologi. Ada banyak teori yang dicakup dalam paradigma definisi sosial. Dalam sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda yang disadur oleh Ali Mandan, Ritzer memberikan tiga teori yaitu ; Teori Aksi (action Theory), Interaksionisme Simbolik (symbolic interactionism) dan fenomenologi (phenomenology). Namun karena perkembangan yang pesat dalam teori sosiologi mutakhir Ritzer menambahkan lagi dua teori kedalam paradigma ini yaitu Etnometodologi (ethnomethodology) dan Eksistensialisme (exixtensialism).
Meskipun penganut paradigma definisi sosial yang paling sering menggunakan metode kuisioner-interview namun mereka juga lebih sering menggunakan metode observasi bila dibandingkan dengan penganut paradigma yang lain. Dengan kata lain, observasi merupakan metode yang membedakan penganut definisi sosial dari penganut paradigma lain. 
Ketiga, paradigma perilaku sosial. Eksemplar yang digunakan dalam paradigma ini adalah karya B.F Skinner yang mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behavioris ke dalam sosiologi. Skinner memandang kedua paradigma fakta sosial dan definisi sosial sebagai perspektif yang bersifat mistik dalam arti mengandung sesuatu persoalan yang bersifat teka-teki, tidak dapat diterangkan secara rasional. Fakta sosial – terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial – yang menjadi subject matter paradigma fakta sosial dan sesuatu yang terjadi dalam pemikiran manusia berupa dalam pemikiran manusia berupa tanggapan kreatif terhadap suatu stimulus dari luar dirinya yang menjadi subject matter paradigma definisi sosial oleh Skinner dinilai sebagai suatu objek yang bersifat mistik.

Peter L Berger dan Luckman: Eksternalisasi, Obyektivasi, Internalisasi

  Sosiologi pengetahuan Berger merupakan hasil kerja intelektual yang banyak mendapatkan sumbangan dari tokoh-tokoh klasik, dari Karl Marx, Max Weber, Durkheim, sampai fenomenologi Alfred Schuezt. Berger berupaya menemukan jalan damai dari perdebatan ilmiah dalam sosiologi dengan bangunan teori sosiologi pengetahuan yang ia kembangkan. Upaya-upaya yang dilakukan Berger dengan membangun sebuah teori konstruksi sosial tentang kenyataan ini sungguh menarik sebagaimana yang dicatat Margaret M. Poloma (1992: 303), bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan.
Secara konseptual sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu alam baik dalam teori, metodologi, dan epistemologi. Kerangka pemikiran yang positivistik dalam ilmu sosial telah menghancurkan sisi internal manusia, atau sisi humanistik ke dalam postulat-postulat kaku, sehingga sosiologi pengetahuan memberikan peluang baru bagi ilmu sosial untuk bergerak dalam menangani fenomena sosial dengan memasukkan unsur humanistis sekaligus fakta sosial.
Secara langsung sosiologi pengetahuan memiliki hutang budi terhadap tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber, Emile Durkeim, dan terhadap tradisi pemikiran fenomenologi Huserl sampai Alfred Schuzt. Kenyataannya teori ini berusaha menengahi dari berbagai aliran yang berkembang dalam pemikiran ilmu sosial. Seperti usahanya dalam menghadapi kenyataan sosial, yang tidak hanya bersifat objektif atau subjektif an sich, tetapi lebih sebagai kenyataan sosial ganda yang melibatkan proses dialektis masyarakat.
Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990).Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.2 Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3 Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990: 34).
Pendekatan Berger terhadap pemahaman realitas ini memiliki dimensi – dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Proses ini berjalan dalam kerangka dialektika Hegel, yaitu adanya tesa, anti tesa, dan sintesa antara diri (the self) dengan dunia sosio-cultural, Frans Parera  menjelaskan bahwa tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural melalui tahapan-tahapan tersendiri
Bagi Berger,masyarakat merupakan fenomena dialektis dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia yang akan selalu memberi tindak balik kepada produsennya. Masyarakat tidak memiliki bentuk lain kecuali untuk yang diberikan padanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Setiap masyarakat manusia adalah suatu usaha pembangunan dunia. Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum atau langkah yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
Eksternalisasi, adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Dalam pembangunan dunia, manusia karena aktifitas-sktifitasnya menspesialisasikan dorongan-dorongannya dan memberikan stabilitas pada dirinya sendiri. Karena secara biologis manusia tidak memiliki dunia-manusia maka dia membangun suatu dunia manusia. Manusia menciptakan berbagai jenis alat untuk mengubah lingkungan fisik dan alam dalam kehendaknya. Manusia juga menciptakan bahasa dimana melalui bahasa manusia membangun suatu dunia simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya. Sama seperti kehidupan materialnya, masyarakat juga sepenuhnya produk manusia. Pemahaman atas masysrakat sebagai suatu produk aktifitas manusia sebagaimana berakar pada eksternalisasi menjadi penting mengingat kenyataan bahwa masyarakat  tampak dalam pengertian sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda dari aktifitas manusia. Transformasi produk-produk manusia kedalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia tetapi juga kemudian mengahadapi manusia sebagai suatu faktisitas diluar dirinya sebagaimana diletakkan dalam konsep objektivasi.
Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktifitas itu (baik fisik maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari produsen itu sendiri. Dunia yang diproduksi oleh manusia kemudian menjadi sesuatu ”yang berada di luar sana”. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik materiil maupun non materiil yang mampu menentang kehendak produsennya. Sekali sudah tercipta maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Objekt ivitas pemaksa dari masyarakat tersebut terlihat jelas dalam prosedur-prosedur kontrol sosial, yaitu prosedur-prosedur yang khusus dimaksudkan untuk memasyarakatkan kembali individu-individu atau kelompok pembangkang. Lembaga-lembaga politik dan hukum dapat memberi contoh jelas mengenai hal ini. Objektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya. Lembaga-lembaga, peran-peran dan identitas –identitas eksis sebagai fenomena-fenomena nyata secara objektif dalam dunia sosial meskipun semua itu tidak lain adalah produk-produk manusia.
Internalisasi adalah peresapan kembali ralitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Melalui objektivasi maka masyarakat menjadi suatu realitas sui generis, unik. Melalui internalisas, maka manusia merupakan produk masyarakat. 
Parera menambahkan, tiga momen dialektika itu memunculkan proses konstruksi sosial yang dilihat dari segi asalnya mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, yaitu buatan interaksi intersubyektif.
Melalui proses dialektika ini, realitas sosial (tindakan sweeping) dapat dilihat dari ketiga tahap tersebut. Sebagai dimulai dari proses eksternalisasi, dimulai dari tahap interaksi antara makna sweeping dengan aktor terjadi pengenalan dan pemahaman. Eksternalisasi menurut Berger merupakan bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturnya. Dengan kata lain eksternalisasi terjadi pada tahap yang mendasar, dalam satu pola perilaku antar interaksi antar individu-individu dengan produk sosial masyarakatnya. Kemudian disusul dengan proses obyektivasi dan dissusul dengnan internalisasi penggambaran individu untuk mengikuti tindakan sweeping sebagai sebuah kebenaran yang harus dilakukan.



09/04/12

Sharing Reiki Treatment

Tulisan ini saya dedikasikan kepada Kawan-kawan di Wijaya Kusuma Reiki

Alkisah pada suatu hari ada kawan yang mengutarakan bahwa bapaknya sedang mengalami gangguan kesehatan. Dimana sang Bapak sering mengeluhkan pusing kepala yang berkelanjutan dan pandangan sering kali hitam/ tidak bisa melihat. Sudah dibawa berobat ke medis beberapa kali namun masih saja belum terlihat kemajuan kesehatannya.


Pada suatu hari saya dipertemukan dengan sang Bapak, dan kami pun mengobrol untuk menjalin kedekatan dan akhirnya sang Bapak ini bercerita tentang keluhan kesehatannya. Beberapa hal yang dikeluhkan adalah, kepala terasa berat, pusing, leher, tengkuk terasa tegang serta pandangan mata yang kabur, mata terasa kering hingga kadang blank/hitam/tak bisa melihat sama sekali. Hal ini sangat dirasakan ketika baru bangun tidur dan kadang juga muncul ketika sedang melakukan aktivitas keseharian. Beliau juga bercerita kalau tekanan darahnya kadang naik (sory lupa berapa tensinya).


Setelah beberapa saat ngobrol maka kami sepakat untuk memulai sesi terapi reiki. Proses terapi dilakukan selama kurang lebih 15-20 menit. Saat proses terapi badan sang bapak terlihat bergoyang seperti orang menahan kantuk, dan malahan hampir rebah namun masih bisa mengatasi dirinya supaya tidak rebah.
Setelah proses healing selesai, terlihat sang bapak lebih segar dan rileks, dari kedua matanya terlihat menetes air mata. Kemudian bapak tersebut bilang bahwa badannya sudah lebih nyaman dibanding tadi sebelum terapi, matanya terasa perih seperti kemasukan pasir, namun merasa enak karena air mata keluar yang selama ini sangat jarang air mata bisa keluar seperti itu.


Pada hari berikutnya, kembali saya bertemu dengan sang bapak, pada saat bertemu badan bapak ini kelihatan fresh, dan setelah beberapa saat dia bercerita bahwa semalam dia bisa jalan sendiri ke kamar mandi tanpa dibantu, meski suasana sekitar gelap (karena penerangan kurang) dan tidur dengan nyenyak, dan saat bangun tidak seperti hari-hari sebelumnya, karena saat bangun, pandangan mata tidak gelap.
Saat pertemuan kedua ini dilakukan healing reiki kembali. Proses berlangsung seperti hari pertama, dan ketika selesai healing, sang bapak bercerita kalau pandangannya lebih enakan.


Proses healing dengan sang bapak ini, saya lakukan selama 3 kali pertemuan, dan hasil setelah 3 kali pertemuan tersebut memperlihatkan hal yang positif. Dalam kesempatan pertemuan tersebut saya juga sarankan supaya bapak tersebut melakukan cek medis atas kondisi tubuhnya, dan tetap menjaga pola makan.
Pengalaman ini saya tuliskan untuk berbagi pengalaman tentang penggunaan reiki dalam keseharian, selain untuk diri kita sendiri kita juga bisa membantu meringankan beban orang lain. Apa yang saya sharingkan merupakan sekelumit proses melatih percaya diri dalam mempraktekkan reiki dan sekaligus sebagai proses belajar lebih lanjut. Dan untuk kawan- kawan praktisi reiki dimanapun berada tetap semangat belajar dan mempraktekkan apa yang telah dikuasi untuk sesama. Terima kasih

06/04/12

Kehidupan Sosial Politik dan Pemerintahan Masyarakat Kota Ampenan

Gambaran tetang kehidupan sosial Politik dan pemerintahan masayrakat Ampenan dari pra Kolonial samapai masuk Imperalisme Belanda, Jepang dan masa kemerdekaan memiliki masa kejayaan dan pengalaman yang bersejarah tersendiri. Pengalaman itulah yang sekarang semakin memperkaya wawasan kehidupan kemasyarakat mereka hidup ditanah rantauan dengan mengadu nasib untuk cita-cita dan masa depan bagi harapan keluarga yang telah ditinggalkan oleh mereka sejak lampau.

1. Pengalaman masa sebelum dan sesudah Kolonial Belanda

Sebagai pengalaman Sejarah etnis-etnis yang bermukim di kota Ampenan, Misalnya masa penjajahan Belanda ibu kota Ampenan dijadikan sebagai kota Afdeeling Lombok dengan berdasarkan staatblad No. 181/1895 tanggal 31 Agustus 1895 bahwa Pulau Lombok ditempatkan langsung dengan pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari ke Residenan  Bali dan Lombok adan    dibagi menjadi wilayah/kompleks kecil seperti kompleks Pelabuhan, Perkantoran, komplek perdagangan, kompleks pemukiman dengan berdasarkan etnis masing-masing seperti yang pernah diuraikan di atas.

Pada tahun 1895 Belanda berkuasa mulai mempraktekan ajaran Colijn dengan semangat untuk menananmkan pada masyarakat Ampenan semangat sukuisme  yang paling ditonjolkan dan perbedaan agama (buku Integrasi Nasional dalam Pendekatan Budaya di Nusa Tenggara Barat, Depdikbud, 1996:52). Artinya menanamkan benih perpecahan dengan mempertajam politi adu domba sehingga akibatnya timbul rasa kebencian dari etnis-etnis. Timbul rasa kebencian dari etnis itu akan terjadi perpecahan (konflik) sehingga lebih muda Belanda memerintah mereka.

Dalam susunan pemerintahan diatur oleh Belanda dengan tidak berdasarkan wilayah atau komplek tinggal mereka akan tetapi berdasarkan etnis dengan berdasarkan kehendak Belanda atau pendudukung.    

Adanya pmindahan ibu kota pemerintahan dari Kota Ampenan ke Kota Mataram oleh Belanda, berarti kantor pemerintahan Asisten Keresidenan dan perumahan ikut juga pemindahan, sedangkan Kota Ampenan dijadikan sebagai kota pelabuhan sekaligus sebagai pusat kota perdagangan.

Pada masa pemerintahan Belanda jabatan Asisten Residen Kontrolir, InspekturPolisi, dan kepala Distrik dipegang jabatan oleh orang Belanda sedangkan jabatan Kepala Desa dipercayakan bangsa Bumi Putra (orang Lombok) yang merupakan jabatan paling rendah. Sedangkan kepal Desa dibantu oleh ”Kliang”  artinya Kepal Kampung (Kadus) sekarang   dan ”juruhwarah”  sebagai pembantu Kliang yang kan menyampaikan perintah langsung kepada rakyat apabila ada sesuatu yng berkaitan dengan Desa (rakyat) misalnya kegiatan gotongroyong infomasi penting dalam urusan pemerintahan. Selain itu dalam pengaturan dalam pemerintah desa terdapat juga untuk menjaga keamanan yaitu ”Langlang” yang akan bertanggungjawab terhadap keaman  Desa/kampung.

Kepala Desa, Kliang, Juruwarah, dan Langlang masa pemeritah Desa tidak mendapat gaji, mereka bekerja dengan suka rela. Akan tetapi mereka juga akan mendapat tanah pecatu (tanah bengkok) dan terbebas dari kerja Paksa/rodi, dan tidak dibebani dengan pajak.  

Pada masa Belanda juga para pegawai dengan memegang jabatan lebih banyak dari luar etnis Lombok, artinya etnis Jawa. Ada juga yang menjadi Guru, Perawat, dan menjadi pegawai rumah sakit. Sedangkan suku lain untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan sangan kurang.

Untuk mendukung pemerintahan Belanda itu juga dalam pemindahan ibu Kota dari kota Ampenan ke kota Mataram sampai sekarang, pada tahun 1928 Belanda membangun Pusat tenaga Listrik yang diberi nama  ”Ebalom” yang artinya ”Electrich Bali en Lombok” yaitu tenaga Listrik untuk wilayah Bali-Lombok untuk menyediakan kebutuhan Belanda juga untuk pegawai-pegawai dan sebagaian penduduk yang terdiri dari wilayah Kota Ampenan, Mataram dan Cakranegara. Sedangkan pusat Ebalom yaitu PLN sekarang karena telah terjadi Nasionalisasi semua aset Belanda, sehingga menjadi Perusahaan Milik Negara. (Integrasi Indonesia: Pendekatan Budaya NTB, Depdikbud, 1996:55).

2. Pengalaman masa Pendudukan Jepang

Pada tanggal 8 Desmber 1941 Jepang kembali bangkit untuk menunjukkan kekuatan militer serta semangat Bushidonya membom Pearharbour di Hawai samudra pasifik dengan tujuan menghancurkan pangkalan militer Amerika agar tidak menjadi batu sanjung ketika Jepang melakukan ekspansi ke negara-negara Asia Pasifik. Selain itu juga Jepang menguasai Pangkalan Militer Amerika ke 2 di Filipina. Jendral Mech Acthur berhasil dihancurkan oleh Jepang. Dalam waktu lebih kurang 2 bulan Asia Pasifik jatuh ketangan Jepang, disamping itu keberhasilan Jepang menarik simpatik baga Asia Pasifik dengan slogan propagandanya yaitu Gerakan Tiga A dan Jepang sebagai Saudara Tua. Akibatnya

Negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia dibawah pendudukan Jepang. (Indonesia Abad ke 20, Moedjanto G. Drs. MA, 1988:69). Berbagai wilayah indonesia termasuk Lombok menjadi jajahan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Mei 1942 Angkatan Laut Jepang mendarat melalui pelabuhan Ampenan dengan menggantikan kedudukan Belanda. Akibatnya dalam proposi pemerintahan telah berubah termasuk pembagian wilayah di pulau Lombok terbagi menjadi tiga wilayah yaitu : pemerintahan Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Sedangkan wilayah ini pada masa Belanda disebut dengan pemerintaha  Kontrolir, sedangkan setelah dikuasai oleh pemeritahan Jepang menjadi Bun ken kanrikang. Kepala Distrik diganti menjadi  Gunco

Dan Kepala Desa menjadi Sunco. Sedangkan jawatan-jawatan lain yang penting adalah Kepolisian, urusan bahan makanan, dan urusan pemotongan hewan. Sejak masa pemerintahan Jepang kota Ampenan sepi kembali karena sistem pemerintahan lebih berorientasi ke Militerisme.  Pusat perdagangan kota Ampenan tidak lagi menjadi ramai, toko-toko kosong, gang-gang yang dekat dengan kepentingan Jepang diperlebar secara paksa.

Perhatian oleh Jepang kepada negara jajahan termasuk pembangunan kota Ampenan berbeda, Jepang membentuk kekuatan baik bersifat Diplomasi dan Militer seperti organisasi-organisasi Gerakan 3A, Fujinkai, Seinendan, sedangkan yang paling berperanan menentukan kakuatan pertahanan Jepang adalah Peta, Heiho, Keibodan. Organisasi ini diperalat oleh Jepang untuk menjadi alat perang. Pemuda-pemuda wajib Militer bagi yang berumur minimal 16 tahun, dengan tujuan untuk membantu jepang dalam perang Asia Timur raya melawan Sekutu. (Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 daerah NTB, Depdikbud, 1980 23-24).

 Suasana seputaran Kota Ampenan, Mataram, dan Cakranegara semakin genting dan sepi Jepang dengan kekauatan dan kekuasaan Militerisme semakin lama menimbulkan kebencian masyarakat. Larangan untuk berkumpul membicarakan politik, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, berbahasa indonesia disekolah-sekolah, kegiatan beribadah sebagai masyarakat Sasak dan etnis pendatang bermayoritas Islam dibatasi dan diintimidasi oleh tentara Jepang. Kegiatan seni Budaya larangan, semakin lama masyarakat terus tertanam rasa kebencian ingin melakukan pemberontakan.

Pemberontakan ini awalnya melalui gerakan penghentian pengiriman bahan makanan kepada setiap kantong-kantong pemerintahan Jepang. Gerakan itu dipelopori di Lombok oleh Mamiq Padelah, Lalu Durahman, Lalu Srinata dan lainnya agar masyarakat sadar bahwa pemerintahan Militer Jepang lebih mengutamakanan urusan dan kepentingan sendiri dari pada untuk kepentingan bangsa koloninya. (Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 daerah NTB, Depdikbud, 1980 23).

Kekuatan gelombang serang sekutu semakin dahsat dan Militer Jepang semakinkehilangan kepercayaan, maka Jepang menjanjikan pada bangsa Indonesia apabila membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya melawan Sekutu maka Indonesia akan diberikan Kemerdekaan.

Taktik, strategi dan kelicikan Jepang sudah diketahui oleh penduduk Indonesia termasuk di Lombok, maka ucapan Jepang tidak diperhatikan, semua yang berurusan dengan kepentingan dan kebutuhan Jepang diabaikan oleh masyarakat Lombok pada umumnya.

Waktu yang telah dinantikan telah tiba saatnya yaitu tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Naga Saki dan Hirosima di Bom oleh Sekutu dan akibatnya Jepang dengan Kaisar Hirohito menyatakan Menyerah tanpa sarat. Akhirnya Sekutu mengambil alih kekuasaan untuk mengamankan situasi bekas penjajahan Jepang dan mengembalikan tentara Jepang ke negaranya.

Akhir tahun 1945 Jepang meninggalkan Kota Ampenan, sejak itu kota Ampenan kembali berfungsi dan peranan pelabuhan mulai berangsur-angsur ramai kembali, kegiatan perdagangan mulai aktif. Para pedagang melakukan fungsinya, para buruh, tenaga kerja, kapal-kapal dagang kembali beraktivitas kembali yang sekian lamanya mereka telah tercekam oleh rasa ketakutan dan kekerasaan dari pemerintahan Jepang.

Kegiatan transportasi melalui darat kedaerah lombok Tengah, Lombok Timur, dan kepulau Sumbawa aktif kembali. Pola perbaikan pemerintahan mulai tertata kembali karena gelombang kekuatan Nasionalisme para pemuda dan tokoh, yaitu Bung Karno dan Hatta bersama dengan pemuda mencanangkan Proklamasi denga tujuan agar terbebas dar belenggu penjajah yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Deklarasi Of Independen tidak dapat dihindari lagi peluang kekosongan kekuasaan dan semangat kebangsaan dimanfaatkan oleh mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 (Sudah diuraikan pada bab III).

Setelah Kemerdekaan dicapai, maka status pemerintahan yang dulu warisan belanda yaitu kegiatan pemerinahan dikembalikan lagi ke Mataram, sedangkan kota Ampenan tetap menjadi kota perdagangan. Akan tetapi pelabuhan Ampenan juga mulai berpindah ke pelabuhan Lembar karena semakin meningkatnya arus transportasi darat lebih cepat. Akibatnya semakin lama kota pelabuhan Ampenan semakin sepi dan kegiatan perdagangan pun  menurun, karena di Cakranegara telah dibuka juga pertokoan-pertokoan, akibatnya konsumen sesuai dengan perkembangan tata kota lebih banyak membeli kebutuhannya di Cakranegara.

Wilayah dan perkampungan yang dihuni oleh berbagai etnis dibagi menjadi tiga kelurahan yaitu kelurahan Ampenan Utara, Kelurahan Ampenan Tengah, dan Kelurahan Ampenan Selatan, yang sampai sekarang menjadi pertumbuhan dan perkembangan pemekaran wilayah disetiap sudut kota Mataram.

 

Artikel Ini sudah diterbitkan di Jurnal Penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT